Sudah tidak asing lagi, bila kita sering mengamati melalui layar televisi, koran atau pun majalah bagaimana para anggota DPR / MPR di Indonesia bersidang. Dalam setiap sdiang atau rapat, apa yang mereka perbincangkan, usulkan, mungkin pertanyakan atau diskusikan panjang lebar (kalau tidak mau dikatakan debat kusir) sampai berjam-jam adalah untuk melegitimasikan sebuah istilah ‘demi kepentingan rakyat’ yang mereka wakili. Mereka dengan yakindan mantap menyebutkan diri sebagai wakil-wakil dari rakyat yang telah ‘memilih’ mereka masuk dan duduk di situ dengan tujuan ‘membela’ kepentingan rakyat.
Yang menjadi pertanyaan: sejauh mana kebenaran antara apa yang mereka sandang ‘sebagai wakil suara rakyat’ dan realitasnya dalam kehidupan masyarakat? Apakah mereka benar-benar mewakili kepentingan rakyat ? Apakah suara mereka identik dengan suara rakyat ? Ataukah rakyat memang telah dan akan terwakili oleh suara mereka ? Mungkin sebagian besar sepakat untuk mengatakan tidak bisa dipastikan !
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengingatkan penulis akan suatu pepatah kuno yang berbunyi vox dei vox populi, artinya suara Tuhan suara rakyat. Munculnya kata-kata mutiara ini dilatari oleh ketiranian raja Louis XIV dari Perancis yang selalu berkata dengan pongahnya sampai menjadi termasyhur, yaitu L’etat c’est moi yang berarti : Hukum itu adalah saya ! Pernyataan ini jelas mengandung makna bahwa dirinya identik dengan Tuhan atau dapat diartikan bahwa segala sesuatu yang keluar dari dirinya, (baik itu berupa peraturan, tuntutan, atau suatu desesi (keputusan) yang kemudian menjadi hukum) pastilah mewakili atau sangat mungkin identik dengan Tuhan. Maka sebagai suatu reaksi terhadap ekspresi itu, orang kemudian menempatkan adagium lain: vox dei vox populi.
Dari kasus diatas, timbul suatu pertanyaan: Apakah pelayan Tuhan, para pendeta dan penginjil, para majelis dan pengurus Komisi / Departemen selalu identik dengan utusan Tuhan ? SIAPA YANG TAHU ! Lalu Apakah suara Tuhan dapat dikatakan sebagai representatif dari suara Tuhan ? WALAHUALAM, hanya Tuhan yang tahu, mungkin sekali waktu dan karya merekalah yang menjadi bukti yang setia.
Sebenarnya pertanyaan serupa dapat juga ditujukan kepada institusi Gereja, yaitu apakah setiap desesi, kebijakan atau apa pun yang dihasilkan dari institusi gereja dapat diidentikkan sebagai suara Tuhan ? Atau apakah setiap keinginan dan suara dari jemaat terhadap pemimpin jemaat juga menjadi indikator suara Tuhan ? Idem ditto deh !
Bagaimana dengan setiap orang yang menyebut dirinya sebagai wakil jemaat ? Apakah secara otomatis pernyataan orang itu dapat diterima, didengarkan dan perlu dipertimbangkan saran-sarannya ? Apakah keberadaan orang tersebut pada suatu forum rapat dapat dikategorikan sedang ‘mewakili’ jemaat atau suara Tuhan ? Sejauh mana kekuatan suara Tuhan dan suara jemaat dalam pengambil-keputusan gereja, dalam hal ini GKA Elyon ? Mungkinkah tidak ada sama sekali ‘ruang suara’ untuk suara Tuhan atau suara jemaat ? Mungkin sekali ! Acapkali realita mengatakan bahwa suara dari ‘orang-orang tertentu’, ‘orang-orang yang dalam lingkaran kekuasaan’ yang lebih menentukan suatu desesi atau bahkan arah gereja, daripada Tuhan yang mempunyai gereja.
Dari lontaran-lontaran pertanyaan yang muncul, penulis ingin mengajak Saudara semua kembali berpikir kritis terhadap gereja (khususnya GKA Elyon) yang Saudara cintai. Sebab GKA Elyon menjadi baik atau buruk, menyimpang arah atau bergerak ke arah yang benar, tidak hanya ditentukan oleh para pelayan Tuhan, tetapi juga oleh jemaat secara keseluruhan turut berperan serta atas hal-hal diatas. Ada beberapa hal yang boleh menjadi bahan pemikiran, yaitu :
Fungsi seorang pelayan Tuhan adalah sebagai ‘mediator’, yaitu sebagai imam (mewakili suara jemaat yang ingin bertobat atau menyampaikan pergumulannya kepada Tuhan), nabi (mewakili suara Tuhan dalam menyampaikan keinginan-Nya kepada umat), dan raja ( yang mengejawantahkan, menjemaatkan suara Tuhan yang diterima pelayan Tuhan kepada umat-Nya secara keseluruhan).
Semua ini dengan satu tujuan agar umat Tuhan semakin peka akan kehendak Tuhan atau suara Tuhan atas gereja-Nya. Dengan kepekaan ini gereja Tuhan tidak sampai menjalani kehidupan yang menyimpang dari keinginan-Nya.
Sebagai mediator, seorang pelayan Tuhan tidaklah boleh sembarangan dan terlalu mudah melontarkan statemen ‘aku datang disini membawa suara jemaat’ atau sebaliknya. Ingat kasus yang terjadi di Alkitab :
- I Raja-raja 13
Dari peristiwa ini, kita diingatkan beberapa hal :
- Ketika seseorang mewakili suara Tuhan selalu disertai kuasa dari-Nya.
- Seorang abdi Allah tidak bekerja untuk kepentingan seseorang atau sekelompok orang tetapi ia milik Allah.
- Sungguh mengerikan hukuman dari Tuhan terhadap abdi Allah yang lalai menaati perintah yang telah ia dengar. - 1 Raj 22:1-40
Dari peristiwa ini kita dapat memetik suatu pelajaran:
- Suara ‘mayoritas’ (v.6 – 400 nabi yang sangat mungkin dikepalai nabi Zedekia yang lebih senior dari Mikha bin Yimla) tidak selalu identik dengan suara Tuhan, itu sebabnya raja Yosafat ragu terhadap jawaban para nabi itu kepada raja Ahab (lihat v.7).
- Dibalik suara nabi Mikah bin Yimla yang ‘tidak menyenangkan’ (tidak menyenangkan itu menurut siapa?) karena suara Tuhan dianggap malapetaka, namun bagi raja Yosafat mengandung muatan suara Tuhan (v.8,18). Memang tidak memuaskan bagi kalangan atau oknum tertentu yang ingin mencari keuntungan, atau pembenaran bagi motif dan ego sesaat.
- Seperti kejadian dalam 1 Raj 13, yang juga terulang di 1 Raj 22, yaitu hukuman Tuhan sungguh menakutkan bagi orang-orang yang tidak taat akan ‘suara Tuhan’.
- Peristiwa pembutan lembu emas oleh Harun (Kel 32:1-35) terkandung muatan:
- Suara ‘mayoritas’ umat Israel (yang menginginkan ‘allah’ pengganti –v.1) tidak identik dengan suara Tuhan.
- Fungsi pelayan Tuhan adalah menjadi filter bagi umat yang digembalakannya dan bukan terseret arus (dalam Kel 32:4 - Harun malah menegaskan bahwa inilah allah untuk mereka, dan dalam Kel 32:33 – Harun malah melepaskan tanggungjawab dan melemparkan kesalahan kepada uamt Israel).
- Dalam peristiwa ini, kembaliada hukuman Tuhan kepada umat Israel yang bersalah menggunakan ‘suara massa’ untuk mendesak dan memojokkan Harun.
Jadi dapat dikatakan, jika seorang pelayan Tuhan tidak mawas diri, ia akan mudah jatuh kepada ke’pongah’an yang sama seperti raja Louis XIV, bahwa dia satu-satunya orang yang dipercayai oleh Tuhan atau jemaat untuk menyampaikan kebenaran.
Bahaya dari hal ini adalah kita sangat mudah menanfaatkan statemen itu agar suara ‘pelayan’ memiliki power untuk didengar, dihormati atau dilaksanakan, padahal realitasnya masih perlu dipertanyakan ?
Demikian juga sebaliknya terhadap jemaat (dalam memberikanusul atau keinginan) yang tidak mawas diri, sangat rawan membawa suatu malapetaka bagi gereja.
Oleh sebab itu, gereja zaman sekarang (termasuk GKA Elyon) membutuhkan nabi seperti Samuel, yang berani menegur raja Saul (pada masa itu, siapa yang begitu berani menegur raja, yang dihormati, memiliki kekuasaan yang ‘tak terjamah’ yang juga dipercayakan sebagai representatif Allah ? Sungguh ini bukan hanya membutuhkan keberanian tetapi keyakinan bahwa apa yang disampaikan adalah suara Tuhan, agar raja tidak menyimpang dan bertobat dari arah hidupnya yang salah) yang ketika itu menyimpang dan memanfaat privilegde dari Allah untuk kepentingan diri sendiri.
Atau seperti nabi Nathan yang berani menegur raja Daud ketika ia berbuat dosa dengan segala rencana yang begitu ‘mulus’ namun ‘licik’ (tidak sekedar jahat) hanya untuk ‘menikmati’ seorang Batsyeba yang telah menjadi istri orang (walau tak seorang pun tahu akan rencananya). Adalah tidak mudah mengerti hal ini, mengapa demikian ? Karena masa itu adalah suatu hal yang wajar kalau seorang raja memiliki ‘wanita’ lebih dari satu. Apakah Tuhan marah hanya karena Batsyeba sudah menjadi milik orang lain ? Mungkin sekali ! Namun sangat mungkin Tuhan murka Tuhan murka karena ‘kelicikan’ dan ‘kelicinan’ Daud untuk mengambil Batsyeba; atau mungkin Tuhan murka karena kepongahan Daud dalam menggunakan privilegde ke’raja’annya (his kingship) untuk berbuat sesukanya.
Adakalanya kita harus berdoa agar Tuhan memberikan orang-orang semcam mereka (yang berani menyampaikan berita menyakitkan namun mengandung kebenaran), yang berani menegur (walau dia orang besar, orang penting, orang berduit, orang yang disegani, perintis gereja, dsb.) jika seseorang atau gereja memang telah SALAH ARAH.
Dari sini terbukti bahwa antara gereja (umat Allah) dan pelayan Tuhan harus saling re-evaluasi, saling mengoreksi, saling menegur dan menasehati satu sama lain, agar gereja dan umat didalamnya dapat berkenan di hadapan-Nya. Ketika gereja hidup dalam jalur yang benar, baik dalam sistem, arah dan kebijakannya, maka suara Tuhan akan identik dengan suara jemaat dan suara jemaat juga identik dengan suara Tuhan.
surabaya, 2000
No comments:
Post a Comment