Sunday, March 17, 2013

Saat Saat Yesus Dikhianat

Matius 26:20-25, 31-36; 40-46

 Keempat Injil mengisahkan perjalanan Yesus dan  para murid-Nya menghadapi saat-saat kematian Yesus. Nats bacaan kita hari ini merupakan bagian dari rentetan keseluruhan perjalanan Yesus sampai ke bukit Golgota. Pada malam terakhir sebelum Tuhan Yesus ditangkap, diadili, disangkali dan dikhianati oleh murid-muridnya sendiri dan sampai disalibkan. Yesus mengundang murid-murid-Nya untuk berada disekelilingnya dan merayakan Paskah bersama dengan makan bersama. Persekutuan di meja makan atau makan bersama mempunyai arti yang sangat penting dalam tradisi Yahudi. Lihat kasus Elia: 1 Raja 19:7-8. Makan bersama bukan saja mengakrabkan orang-orang yang duduk bersama dalam satu meja melainkan lebih dari itu, dalam tradisi yahudi makan bersama dipakai juga sebagai tanda perdamaian keduabelah pihak yang pernah bertikai, sebagai tanda bahwa kedua belah pihak yang pernah bertikai sepakat untuk berdamai. Bukankah di tradisi orang Chinese, sebelum menegur atau menasehati, maka makan dipakai ajang yang baik, bukankah acapkali negosiasi bisnis juga tercapai dengan baik ketika kedua belah pihak makan bersama?
Tradisi makan bersama ini dipakai Tuhan Yesus juga untuk menguatkan hubungan antar murid dan mereka dengan diri-Nya, sebelum ‘badai’ besar itu datang pada-Nya dan para murid. Persiapan para murid untuk menghadapi penolakan, penganiaan bahkan resiko nyawa mereka sendiri dan tentunya resiko iman mereka (lihat kasus: Petrus yang menyangkal danTomas yang masih meragukan kebangkitan Yesus).
Dalam perjamuan itu, Yesus lalu mulai menasehati para murid2-Nya:
1.      Yudas (ayat 21 - sebisa mungkin, walau terasa mustahil karena dari kacamata rohani, Iblis sudah menguasai motivasi dan hati Yudas).
Bagaimana reaksi dari Yudas? Dalam ayat 25, ia tetap merasa tidak melakukannya [Padahal Yudas sudah sepakat dengan para penangkap [ayat 10-11]. Bukan hanya Para murid menolak tuduhan Yesus, Yudas malah mereka memberikan penegasan. Mereka semua melakukan bersih-bersih diri alias pembenaran diri dengan berkata :"bukan aku, ya Tuhan".
2.      Petrus (ayat 31). Pembenaran diri ini berlanjut dengan penegasan oleh Petrus, dengan memukul dadanya sambil berkata: "semuanya bisa tergoncang imannya namun aku tidak". Namun tidak dalam hitungan hari, Petrus yang paling awal tergoncang imannya. Ia jatuh hanya oleh sebuah pertanyaan sederhana dari seorang hamba perempuan yang sederhana, bukan oleh todongan pedang, yang akan mengancam jiwanya secara langsung. Ia cuma menegur Petrus, mengatakan hal yang sebenarnya yang ia ketahui; seorang pelayan perempuan dengan tangan kosong hanya menegur Petrus sang pemberani yang pernah memotong telinga pengawal imam besar. Sebenarnya secara logika tidak ada alasan yang kuat bagi Petrus untuk menghianati Yesus. Namun Petrus telah melakukannya dan penghianatan ini telah mengungkap potret manusia pada umumnya dan gereja secara khusus.
3.      Tomas (Yohanes 20:27). Yesus ingin Tomas percaya, namun Tomas berkata bahwa jikalau ia tidak mencucukkan tangannya ke lobang bekas paku itu, ia tidak akan pernah percaya – ayat 25).
4.      Dan murid-murid lainnya, yang meninggalkan Tuhan Yesus dan mengunci diri (Yohanes 20:19). Itu pun termasuk mengkhianati walau tidak separah Yudas. Tetapi kualitas pengkhianatan itu tetap sama!

Mengapa itu bisa terjadi? Karena (1) mereka menyangkali! Mereka merasa tidak mungkin melakukan pengkhianatan itu, sesuatu yang serasa jauh dari akal sehat mereka. (2) Mereka merasa Kuat! Padahal Yesus sudah berulang-ulang mengajak mereka berjaga-jaga dengan berdoa bersama Dia (Matius 26:40-44). (3) Harapan mereka untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan tidak tercapai, baik Yudas (yang menginginkan Yesus melawan dan bereaksi  bak panglima perang umumnya), para murid yang sibuk mencari kekuasaan atau berdebat siapa diantara mereka yang besar. Bagaimana dengan kita saat ini? Pengkhianatan kepada Yesus masih bisa terjadi kapan pun, walau pun bentuknya berbeda, namunnya intinya sama!

Diskusikan:
1.      Pengkhianatan apa yang terjadi saat ini di dalam hidup pelayanan gereja atau dalam hidup kita? Mengapa bisa demikian?
2.      Bagaimana mencegah agar itu tidak terulang terus dalam sejarah kekristenan?

No comments: